Jumat, 08 Mei 2020

MATERI WAWACAN (materi berbahasa Indonesia) KELAS X


WAWACAN
Contoh Wawacan Bahasa Sunda


Pengertian wawacan sendiri berasal dari kata “waca” yang mengandung arti “membaca” atau dibaca. Wawacan dalam bahasa sunda merupakan karya sastra sampiran yang bagiannya mengikuti pola patokan pupuh.
Cerita wawacan pada umumnya panjang, sebab terdiri dari banyak pelaku atau penokohan dan jalan caritanya yang relatif banyak terdapat bagian-bagianya. Wawacan sendiri termasuk dalam bentuk karya fiksi yang dalam cerita merupakan rekaan atau imajinasi dari pengarangnya.
Dalam sastra sunda, wawacan termasuk kedalam puisi yang isinya merupakan sebuah cerita. Conto lain puisi sunda yang merupakan suatu cerita yaitu seperti wawacan dan juga carita pantun. Sedangkan untuk contoh puisi sunda yang isinya tidak merupakan cerita yaitu seperti sajak, guguritan, mantra dan sisindiran.
Wawacan merupakan bentuk puisi yang terikat oleh aturan, dan aturan ini adalah pupuh. Ada 17 aturan pupuh yang dibagi menjadi dua kelompok, nyaitu Sekar Ageung dan Sekar Alit. Dalam aturan pupuh Sekar Ageung ada 4 rupa patokan pupuh, sedangkan dalam Sekar Alit ada 13 rupa patokan pupuh.

Sejarah Wawacan

Jika dilihat dari sejarahnya wawacan itu berasal dari Jawa (Kerajaan Mataram), masuknya wawacan di tatar sunda berkat pengaruh kekuasaan Mataram pada abad ke-17 M, bersamaan dengan itu juga menjadi awal masuknya bahasa jawa ke wilayah Jawa Barat hingga sampai ke pertengahan abad ke-19.
Wawacan adalah bentuk karya sastra yang sangat populer pada abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20. Sebelum orang Sunda mengenal bentuk penulisan prosa, hampir semua bentuk tulisan disusun dalam bentuk puisi wawacan dan dangding, yang dikarang menggunakan aturan pupuh.

Struktur Wawacan

Struktur Wawacan jika dilihat dari cara penyusunannya, wawacan mempunyai struktur saperti berikut ini:
1. Manggalasastra (alofon):
Isinya meminta izin, memuji, dan ucap rasa syukur dari penulis kepada sang maha kuasa termasuk ucapan sholawat kepada nabi dan rosul.
Contoh struktur manggalasastra misalnya yang terdapat pada wawacan Rengganis, yang ditulis pengarang.
Kasmaran kaula muji
ka Gusti Ajawajala
nu murah ka mahluk kabeh
jeung muji utusanana
Kangjeng Nabi Muhammad
nya eta Nabi panutup
miwah muji sahabatna
2. Isi cerita:
Bagian awal mula cerita hingga akhir atau tamatnya cerita
3. Bagian penutup (kolofon):
Isinya berupa awal mula ditulisnya wawacan tersebut
Contonya pada Wawacan Panji Wulung, pada struktur penulisan Kolofon ini sebagai berikut:
Tamatna kaula ngarang
Pukul tujuh malem Kemis
di tanggal tujuh welasna
kaleresan bulan April
taun Kangjeng Masehi
sarewu dalapan ratus
jeung genep puluh dua
marengan hijrahna Nabi
sarewu dua ratus tujuh puluh dalapan

-- Contoh Wawacan Panji Wulung --

Sebuah wawacan yang menjadi awal berkembangnya modernitas di kalangan orang sunda adalah Wawacan yang berjudul Panji Wulung yang ditulis oleh R.H. Moehamad Moesa, Penghulu Kabupaten Garut pada saat jaman kolonial.
Wawacan Panji Wulung terbit pertama kali pada 1876 dalam huruf latin. Ada juga edisi yang dicetak dalam aksara cacarakan. Kedua edisi itu mengalami cetak ulang berkali-kali dan sangat digemari oleh anak sekolah. Ada pula edisi terjemahannya dalam bahasa Jawa dan Madura.
Terakhir kali wawacan ini dicetak ulang pada 1991 atas upaya Ajip Rosidi. Di Garut saat ini, Panji Wulung digunakan sebagai nama salah satu ruas jalan di pusat kota.
Saking terkenalnya, banyak petikan dari wawacan ini digunakan oleh guru-guru untuk mengajarkan pupuh di sekolah. Salah satu di antaranya bait yang menceritakan Panji Wulung bertemu pimpinan Begal yang bernama Jayapati dalam pupuh Pangkur, yang lengkapnya berbunyi:
“Seja nyaba ngalala, ngitung lembur ngajajah milangan kori, henteu puguh nu dijugjug, balik Paman sadaya, nu ti mana tiluan semu rarusuh, lurah begal ngawalonan, aing ngaran Jayapati.”

Contoh Ringkasan Wawacan Panji Wulung

Wawacan Panji Wulung
Ringkasan Cerita:
Wawacan panji wulung merupakan cerita tradisional di tatar sunda sunda, jawa Barat. Wawacan ini menceritakan tentang perjalanan hidup dari seorang pangeran yang bernama Raden Panji Wulung.
Panji wulung adalah seorang anak dari Prabu Sewakiswara, yaitu seorang raja dari kerajaan Sokadana dan ibunya seorang selir yang bernama Ken Tunjungsari, yang merupakan putri dari kerajaan Blambangan, di wilayah yang sekarang masuk wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.
Saat ibunya hamil, istri dari Prabu Dewakiswara iri hati kepadanya, dan membujuk Prabu Dewakiswara bahwa Panji Wulung bukanlah anaknya melainkan hasil perselingkuhan.
Selir selamat karena pertolongan sang patih yang setia, dan tak lama kemudian melahirkan seorang anak laki-laki di tempat persembunyian nya tersebut dan bayi ini diberi nama Panji Wulung. Sang Parih kemudian mendidik Panji Wulung hingga dewasa. Setelah dewasa.
Suatu waktu Panji Wulung berkelana ke beberapa tempat dan menyelamatkan seorang putri cempaka dari cengkraman seorang pelatih gajah di hutan. Paji Wulung kemudian jatuh cinta pada sang putri tersebut. Raja campa memberi restu kepada mereka untuk menikah.
Setelah itu raja cempaka wafat, dan Panji wulung diangkat menjadi raja penggantinya sesuai dengan wasiat almarhum.
Patih sokadana setia mengunjungi panji wulung di campa, dan Panji wulung pun selalu mengunjungi ayah kandungnya di sokadana hingga tahulah si ayah yang merupakan raja di sokadana, bahwa Panji Wulung dari kerajaan cempaka tersebut adalah anak kandungnya sendiri.
Panji Wulung kembali ke Cempa setelah berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh patih campa yang tidak setia. Hingga akhirnya kerajaan Cempa dan Sokadana hidup makmur dan damai.
Kisah Wawacan Panji Wulung ini ditulis oleh: R.H. Moehamad Moesa, Penghulu Kabupaten Garut pada zaman penjajahan Hindia Belanda dan diterbitkan oleh penerbit Mangkoenagara pada tahun 1931. Dan cerita ini sangat terkenal di kalangan suku Sunda.

Unsur intrinsik Wawacan Panji Wulung

1. Tema: kerajaan
2. Penokohan:
Panji Wulung (berbakti dan jujur) Tunjungsari (setia, sabar)
Prabu Dewakiswara (mudah marah dan mudah diperdaya)
Patih (setia dan baik hati)
3. Alur cerita: maju
4. Latar waktu: pada masa Hindu Buddha
5. Latar tempat: Kerajaan Sokadana dan Kerajaan Cempa
6. Amanat:
Janganlah mudah marah dan gampang dihasut oleh orang lain, dan jadilah anak yang berbakti dan jujur seperti tokoh Panji Wulung yang berbakti kepada orang tuanya dan negara.

Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar